KANTOR URUSAN AGAMA
Jl. Pejuang 45 No.14 Kec. Merbau Mataram Kab. Lampung Selatan 35361
Jumat, 26 Juli 2013
Sabtu, 26 Maret 2011
Nikah Siri Sebaiknya Di Daftarkan Ke Kantor Urusan Agama
TEMPO-interaktif, Makassar - Nikah siri atau pernikahan yang dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui oleh khalayak disarankan untuk didaftarkan pada Kantor Urusan Agama dan Catatan Sipil setempat.
“Agar tidak timbul masalah di belakang hari, sebaiknya pernikahan siri itu dicatat. Ini juga untuk menjamin hak isteri dan anak yang lahir dari sebuah pernikahan siri,” kata Muhammad Ikhwan Jalil, Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Wahdah Islamiyah, Makassar, saat berbicara dalam diskusi ilmiah "Nikah Siri dalam Pandangan Islam," di gedung IMMIM Makassar, Sabtu (20/3).
Diskusi ini digelar oleh Mejelis Ulama Indonesia Cabang Makassar bekerjasama dengan Ikatan Masjid Mushallah Indonesia Muttahidah. Selain ormas Islam, sebagian besar peserta diskusi merupakan perwakilan MUI dari 14 kecamatan se-Makassar.
Selama ini, Ikhwan melanjutkan, praktek nikah siri yang dilakukan masyarakat berlangsung tanpa ada upaya untuk mendaftarkannya di instansi terkait. Akibatnya, nikah siri kerap diidentikkan sebagai perbuatan yang melanggar norma agama dan masyarakat. “Padahal, sepanjang pernikahan yang dilakukan memenuhi rukun dan syarat sahnya nikah, pernikahan tetap dianggap sah,” katanya.
Sebab itu, menurut Ikhwan, ketimbang orang meributkan persoalan nikah siri dibolehkan atau tidak, lebih baik pemerintah melakukan pendekatan persuasif kepada masyarakat dengan memudahkan proses pencatatan pernikahan. “Selama ini, banyak pasangan yang lebih memilih nikah siri karena kendala proses yang berbelit dan biaya nikah yang relatif mahal,” ujarnya.
Pembicara lain, KH Abdul Wahab Zakariya, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Mangkoso Barru menyatakan kontroversi perihal nikah siri juga terjadi di kalangan ulama besar. Namun demikian, kata dia, sekalipun ada perbedaan pendapat perihal sah atau tidaknya nikah siri, para ulama sependapat kalau nikah sirri merupakan perbuatan tercela, yang tidak pantas dilakukan oleh orang orang terhormat.
“Prinsipnya, nikah dikatakan siri jika tidak memenuhi rukun dan syarat syahnya sebuah pernikahan, terlebih jika pernikahan tersebut tidak diumumkan,” katanya. Itulah sebabnya, kata kiai nyentrik ini, undang-undang mewajibkan semua pernikahan dicatat agar tidak menimbulkan fitnah di belakang hari.
Sementara itu, menurut Dr Amrah Kasim, dosen Universitas Islam Negeri Makassar, mengungkapkan sejumlah faktor yang melatarbelakangi nikah siri. Selain faktor sosial dan budaya, nikah siri juga disebabkan karena rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap agama.
"Faktanya, kaum perempuanlah yang paling banyak dirugikan dalam persoalan nikah siri ini," kata dia. Bukan hanya karena telah direndahkan harkat dan martabatnya, Amrah menegaskan, "Nikah siri juga tidak memberikan kejelasan status anak yang mereka lahirkan.”
ARIFUDDIN KUNU
“Agar tidak timbul masalah di belakang hari, sebaiknya pernikahan siri itu dicatat. Ini juga untuk menjamin hak isteri dan anak yang lahir dari sebuah pernikahan siri,” kata Muhammad Ikhwan Jalil, Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Wahdah Islamiyah, Makassar, saat berbicara dalam diskusi ilmiah "Nikah Siri dalam Pandangan Islam," di gedung IMMIM Makassar, Sabtu (20/3).
Diskusi ini digelar oleh Mejelis Ulama Indonesia Cabang Makassar bekerjasama dengan Ikatan Masjid Mushallah Indonesia Muttahidah. Selain ormas Islam, sebagian besar peserta diskusi merupakan perwakilan MUI dari 14 kecamatan se-Makassar.
Selama ini, Ikhwan melanjutkan, praktek nikah siri yang dilakukan masyarakat berlangsung tanpa ada upaya untuk mendaftarkannya di instansi terkait. Akibatnya, nikah siri kerap diidentikkan sebagai perbuatan yang melanggar norma agama dan masyarakat. “Padahal, sepanjang pernikahan yang dilakukan memenuhi rukun dan syarat sahnya nikah, pernikahan tetap dianggap sah,” katanya.
Sebab itu, menurut Ikhwan, ketimbang orang meributkan persoalan nikah siri dibolehkan atau tidak, lebih baik pemerintah melakukan pendekatan persuasif kepada masyarakat dengan memudahkan proses pencatatan pernikahan. “Selama ini, banyak pasangan yang lebih memilih nikah siri karena kendala proses yang berbelit dan biaya nikah yang relatif mahal,” ujarnya.
Pembicara lain, KH Abdul Wahab Zakariya, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Mangkoso Barru menyatakan kontroversi perihal nikah siri juga terjadi di kalangan ulama besar. Namun demikian, kata dia, sekalipun ada perbedaan pendapat perihal sah atau tidaknya nikah siri, para ulama sependapat kalau nikah sirri merupakan perbuatan tercela, yang tidak pantas dilakukan oleh orang orang terhormat.
“Prinsipnya, nikah dikatakan siri jika tidak memenuhi rukun dan syarat syahnya sebuah pernikahan, terlebih jika pernikahan tersebut tidak diumumkan,” katanya. Itulah sebabnya, kata kiai nyentrik ini, undang-undang mewajibkan semua pernikahan dicatat agar tidak menimbulkan fitnah di belakang hari.
Sementara itu, menurut Dr Amrah Kasim, dosen Universitas Islam Negeri Makassar, mengungkapkan sejumlah faktor yang melatarbelakangi nikah siri. Selain faktor sosial dan budaya, nikah siri juga disebabkan karena rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap agama.
"Faktanya, kaum perempuanlah yang paling banyak dirugikan dalam persoalan nikah siri ini," kata dia. Bukan hanya karena telah direndahkan harkat dan martabatnya, Amrah menegaskan, "Nikah siri juga tidak memberikan kejelasan status anak yang mereka lahirkan.”
ARIFUDDIN KUNU
Jumat, 25 Maret 2011
Perkawinan di Bawah Umur Diberi Sanksi Pidana
Jakarta,3/2(Pinmas)--Departemen Agama sedang merancang UU Terapan Peradilan Agama tentang Perkawinan yang akan menghadang perkawinan di bawah umur dengan sanksi yang jelas.
"RUU ini lebih rinci daripada UU Perkawinan, khususnya tentang sanksi," kata Dirjen Bimas Islam Depag, Prof Dr Nasaruddin Umar seusai Konsultasi Nasional Hukum Keluarga Islam di Indonesia di Jakarta, Selasa.
Sanksi bagi pelaku perkawinan di bawah umur, urainya, mencapai Rp6 juta dan sanksi untuk penghulu yang mengawinkannya sebesar Rp12 juta dan kurungan tiga bulan.
Di pedesaan, lanjut dia, menikah di usia muda lumrah dilakukan, yang menampakkan kesederhanaan pola pikir masyarakatnya sehingga mengabaikan banyak aspek yang seharusnya menjadi syarat dari suatu perkawinan.
"Setelah menikah seorang gadis di desa sudah harus meninggalkan semua aktivitasnya dan hanya mengurusi rumah tangganya, begitu pula suaminya tidak lagi bisa berleha-leha karena harus mencari nafkah," katanya.
UU Perkawinan no 1 tahun 1974, ia menguraikan, menyebutkan laki-laki harus sudah mencapai usia 19 tahun dan perempuan 16 tahun untuk memasuki jenjang perkawinan, namun masih terbuka terjadinya pernikahan di bawah umur melalui dispensasi yang diberikan pengadilan atau pejabat lain.
Ia mencontohkan, di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, terjadi peningkatan angka perkawinan di bawah umur berdasarkan surat dispensasi perkawinan di bawah umur yang diajukan ke Pengadilan Agama Ponorogo.
"Pada 2007 rata-rata 15-19 surat diajukan per bulan, padahal sebelumnya rata-rata 1-3 surat saja per bulan. Jadi perkawinan di bawah umur meningkat 75 persen," katanya.
Akibat perkawinan di bawah umur, menurut dia, terjadi peningkatan angka perceraian atau banyaknya kasus kematian ibu saat melahirkan, selain itu perceraian juga menjadi pintu bagi masuknya tradisi baru yakni pelacuran.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, perkawinan bisa dibatalkan bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan pada Pasal 7 UU Perkawinan.
"Berdasarkan UU itu maka perkawinan di bawah umur masuk dalam kategori eksploatasi anak, karena seorang anak yang masih dalam asuhan orang tuanya seharusnya mendapatkan kesempatan belajar. Perkawinan di bawah umur jelas merampas hak anak itu," katanya.
Sementara itu, Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana mengatakan, RUU yang diajukan Depag tersebut saat ini sudah ditandatangani Presiden dan akan dibahas oleh DPR, namun ia menyayangkan, RUU tersebut sulit diakses oleh LSM. (ant/ts)
Sumber : http://www.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=3955
Sumber : http://www.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=3955
Pondok Pesantren Bukan Pencetak Teroris
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma`ruf Amin, mengatakan, pondok pesantren bukan lembaga yang mencetak pelaku terorisme penebar teror bom.
"Pondok pesantren bukan lembaga pencetak teroris dan ini harus diluruskan," katanya pada acara Rapat Koordinasi Daerah MUI wilayah III (Jatim, Bali, NTB dan NTT), di Senggigi Lombok Barat, Selasa (21/7) malam.
Salah satu Rais Syuriyah PBNU ini mengakui bahwa sebagian dari pelaku peledakan bom di sejumlah wilayah di Indonesia pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Namun, pondok pesantren tidak pernah mengajarkan tentang berjihad dengan melakukan teror bom yang menyebabkan banyak korban jiwa.
"Jadi sebenarnya ada distorsi pemahaman tentang ajaran Islam, pelaku peledakan bom tersebut menganggap bahwa perbuatannya merupakan jihad," ujarnya.
Ia mengatakan, salah satu pondok pesantren di daerah Jawa memang mengakui bahwa ada diantara mantan santrinya yang terindikasi pelaku peledakan bom di Jakarta. Namun, pondok pesantren tersebut membantah bahwa telah mengajarkan sesuatu yang bertentang dengan agama Islam dan menganggap bahwa ada oknum-oknum tertentu yang memprovokasi untuk melakukan aksi peledakan bom.
"Jadi sebenarnya, pelaku-pelaku peledakan bom yang terjadi selama ini dengan mengatasnamakan agama terprovokasi oleh orang luar bukan dari dalam pondok pesantren itu," ujarnya.
Oleh sebab itu, pandangan masyarakat luas tentang pondok pesantren sebagai lembaga yang mencetak pelaku teror bom harus diluruskan. "Kita harus meluruskan pandangan itu, jangan pondok pesantren dicap sebagai pencetak santri peneror bom," tegasnya.
Ia mengatakan, pihaknya sudah menyatakan sikap tegas mengutuk sekeras-kerasnya dan menganggap tindakan bom bunuh diri yang terjadi di Jakarta merupakan tindakan yang diharamkan agama Islam. Ajaran Islam mengajarkan untuk hidup berdampingan secara damai (mua`hadah) dengan umat nonmuslim dan memposisikan mereka bukan sebagai musuh.
"Hidup berdampingan dengan sesama mahluk Allah adalah wajib hukumnya apapun agama dan kepercayaannya tetap harus kita hormati," ujarnya.
Sementara itu, terkait dengan Jaringan Islamiyah (JI), KH Ma`ruf Amin, mengatakan, pengikut JI sebenarnya tidak banyak dan terbagi menjadi dua yakni ada menjalankan syariat agama sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan ada JI yang radikal.
Anggota JI yang dinilai radikal tersebut kemudian direkrut oleh oknum-oknum tertentu untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis yang bertentangan dengan ajaran agama. Menurut dia, kondisi tersebut harus ditangkal dengan dua cara yakni dari aspek keamanan jangan diberikan peluang untuk melakukan tindak kejahatan dan dari aspek pemahaman. "Pemahaman radikalisme itu harus dibuang karena itu salah," katanya. (ant/mad)
Sumber : NU Online (http://www.nu.or.id/page.php)
"Pondok pesantren bukan lembaga pencetak teroris dan ini harus diluruskan," katanya pada acara Rapat Koordinasi Daerah MUI wilayah III (Jatim, Bali, NTB dan NTT), di Senggigi Lombok Barat, Selasa (21/7) malam.
Salah satu Rais Syuriyah PBNU ini mengakui bahwa sebagian dari pelaku peledakan bom di sejumlah wilayah di Indonesia pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Namun, pondok pesantren tidak pernah mengajarkan tentang berjihad dengan melakukan teror bom yang menyebabkan banyak korban jiwa.
"Jadi sebenarnya ada distorsi pemahaman tentang ajaran Islam, pelaku peledakan bom tersebut menganggap bahwa perbuatannya merupakan jihad," ujarnya.
Ia mengatakan, salah satu pondok pesantren di daerah Jawa memang mengakui bahwa ada diantara mantan santrinya yang terindikasi pelaku peledakan bom di Jakarta. Namun, pondok pesantren tersebut membantah bahwa telah mengajarkan sesuatu yang bertentang dengan agama Islam dan menganggap bahwa ada oknum-oknum tertentu yang memprovokasi untuk melakukan aksi peledakan bom.
"Jadi sebenarnya, pelaku-pelaku peledakan bom yang terjadi selama ini dengan mengatasnamakan agama terprovokasi oleh orang luar bukan dari dalam pondok pesantren itu," ujarnya.
Oleh sebab itu, pandangan masyarakat luas tentang pondok pesantren sebagai lembaga yang mencetak pelaku teror bom harus diluruskan. "Kita harus meluruskan pandangan itu, jangan pondok pesantren dicap sebagai pencetak santri peneror bom," tegasnya.
Ia mengatakan, pihaknya sudah menyatakan sikap tegas mengutuk sekeras-kerasnya dan menganggap tindakan bom bunuh diri yang terjadi di Jakarta merupakan tindakan yang diharamkan agama Islam. Ajaran Islam mengajarkan untuk hidup berdampingan secara damai (mua`hadah) dengan umat nonmuslim dan memposisikan mereka bukan sebagai musuh.
"Hidup berdampingan dengan sesama mahluk Allah adalah wajib hukumnya apapun agama dan kepercayaannya tetap harus kita hormati," ujarnya.
Sementara itu, terkait dengan Jaringan Islamiyah (JI), KH Ma`ruf Amin, mengatakan, pengikut JI sebenarnya tidak banyak dan terbagi menjadi dua yakni ada menjalankan syariat agama sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan ada JI yang radikal.
Anggota JI yang dinilai radikal tersebut kemudian direkrut oleh oknum-oknum tertentu untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis yang bertentangan dengan ajaran agama. Menurut dia, kondisi tersebut harus ditangkal dengan dua cara yakni dari aspek keamanan jangan diberikan peluang untuk melakukan tindak kejahatan dan dari aspek pemahaman. "Pemahaman radikalisme itu harus dibuang karena itu salah," katanya. (ant/mad)
Sumber : NU Online (http://www.nu.or.id/page.php)
Pedang Asli Nabi Muhammad dan tongkat Nabi Musa Ada di Depok
Pernahkan anda membayangkan akan melihat langsung pedang asli peninggalan Nabi tercinta, Muhammad saw, tongkat asli Nabi Musa as yang pernah menjadi ular dan membelah lautan ketika di kejar Firaun, serta pedang Nabi Daud as? Kalau anda tidak pernah membayangkan, maka waktunya anda menyaksikan langsung Pameran Pedang Nabi di Depok Town Squer, Depok. Pameran ini diselenggarakan dari tanggal 12 Juni hingga 7 Juli 2010 atas kerja sama antara Kedutaan Besar Turki, Depok Town Squer dan Sekolah Kepribadian Depok.
Pameran pedang Nabi ini berada di lantai 1 Detos, dengan lokasi yang sudah didesain khusus berbentuk kubus semi permanen yang disekat menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah ruang audio visual tentang sejarah Salahuddin Al-Ayyubi. Bagian kedua pameran benda-benda bersejarah. Bagian ketiga ruang untuk pengambilan gambar dengan replika pedang Nabi Muhamad saw dengan biaya 10 sampai 15 ribu rupiah.
Beberapa benda yang dipamerkan diantaranya adalah pedang kesayangan Nabi Muhammad saw Al-Ma’thur, tongkat Nabi Musa as, pedang Al-Battar milik Nabi Daud as, sendal sebelah kiri milik Rasulullah, serta replika jejak telapak kaki Rasulullah dari Masjidil Aqsa ke Sidratil Muntaha. Jika melihat benda-benda tersebut begitu indah dan mengagumkan, dengan sentuhan seni yang tinggi. Artinya, pada zaman Nabi-nabi dulu sebenarnya telah memiliki kebudayaan dan peradaban yang sudah maju.
Benda-benda bersejarah tersebut langsung didatangkan dari Museum Sejarah terkemuka di dunia, Topkapi Palace di Turki. Sehingga, demi keamanan benda-benda antik dan memeiliki nilai sejarah yang sangat tinggi tersebut dijaga sangat ketat, dengan dikawal oleh polisi berpakaian sipil. Untuk bisa menyaksikan pameran langka ini, pengunjung harus menyediakan uang sebesar 15 ribu untuk hari kerja dan 20 ribu untuk hari Sabtu dan Ahad.
Dalam rangka mengisi liburan sekolah, kesempatan ini jangan disia-siakan untuk rekreasi dan pendidikan buat anak-anak tentang jejak-jejak para Nabi dan Rasul. Sayangnya, para pengujung dilarang mengambil gambar benda-benda bersejarah tersebut di ruang bagian kedua dalam bentuk apapun. Kalau ada pengujung yang menyentuh kaca etelase, petugas keamanan langsung menegur. Karena itu, bagi yang belum menyaksikan, bersegera datang bersama keluarga, karena pameran ini sangat langka.sumber : http://www.bimasislam.kemenag.go.id
Kamis, 24 Maret 2011
Peraturan Bersama Menteri (PBM) tentang Pendirian Rumah Ibadah Belum Perlu Diubah
Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan, tidak ada rencana untuk merevisi Peraturan Bersama Menteri (PBM) tentang Pendirian Rumah Ibadah. Aturan itu justru berfungsi untuk menjaga kerukunan. Tanpa aturan itu, masyarakat akan bebas melakukan apapun.
"Itu adalah pengaturan yang intinya untuk menjaga kerukunan, kalau itu tidak (ada) maka di masyarakat akan menjadi bebas-bebas saja dan siapa pun bisa melakukan apapun nantinya. Tapi kalau ada koridor itu kan tidak sembarangan orang melakukan apa saja begitu," kata Surya di Istana Negara, Senin (20/19).
Poin jumlah dukungan warga setempat yang ada dalam PBM dinilai memberatkan minoritas. Menanggapi hal itu, Surya justru berpendapat aturan yang ada sekarang lebih moderat. "Jadi dulu itu ada permintaan ukurannya dukungan kepala keluarga (KK)," kata Surya menegaskan.
Ada pandangan berbeda jika menggunakan KK. "Jadi pandangannya macam-macam. Jadi kalau 400 KK katakanlah satu rumah tiga orang, berarti 1.200 orang. Kalau 300 KK ya 900 orang, inikan (aturan saat ini) cuma 60 atau 90 orang," kata Surya menegaskan.
Surya juga mengelak jika aturan itu menyulitkan bagi kelompok agama tertentu di lokasi yang tidak ada penduduknya. "Kapan-kapan kita ke Riau, Anda lihat rumah ibadah yang penduduknya tidak ada sama sekali," kata Surya sambil tersenyum.(rep/ts)
Langganan:
Postingan (Atom)